-->
Motivasi Menulis

Hadits Mutawatir dan ahad serta kedudukannya



DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………………….. 1
BAB I PENDAHULUAN
………………………………………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
………………………………………………………………………………………….. 3
A. Hadits Mutawatir
I.    Pengertian Hadits Mutawatir……………………………………………….…..  3
II.  Syarat-syarat Hadits Mutawatir…………………………………………….…... 3
III. Apakah Untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu?..................................   3
IV. Pembagian Hadits Mutawatir…………………………………………………..  4
V.  Faedah Hadist Mutawatir……………………………………………………….  6
B. Hadits Ahad
I.   Pengertian Hadits Ahad…………………………………………………………  6
II.  Klasifikasi Hadits Ahad
      1. Hadits Masyhur………………………………………………………………  7
      2. Hadits ‘Aziz………………………………………………………………….  9
      3. Hadits Gharib………………………………………………………………  10
III. Kedudukan Hadits Ahad dan Pendapat Ulama Tentang Hadits Ahad………    12
BAB III KESIMPULAN
………………………………………………………………………………………… 13




BAB I
PENDAHULUAN

            Eksistensi hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadits berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an ter-transmisi kepada ummat islam dengan cara mutawatir.
            Ditinjau dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan maka Hadits terbagi dalam dua bagian yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Disini akan dibahas tentang kedua bagian hadits tersebut, untuk lebih mudahnya pemahaman tentang keduanya, maka terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat dua istilah penting dalam ulumul hadits, yaitu tentang istilah perawi dan sanad. Perawi adalah orang yang meriwayatkan hadits, mulai dari perawi pertama, kedua, ketigaa dan seterusnya. Sanad adalah rangkaian mata rantai perawi yang meriwayatkan hadits.
            Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, yang berupa aqwal, af’al, dan taqrir nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan pertama kali melalui penuturan para sahabat yang mendengar atau menyaksikan secara langsung peristiwa yang dilakukan nabi, kepada para sahabat yang tidak menyaksikan langsung dari nabi, atau kepada para tabi’in. Para sahabat yang mendengar atau menyaksikan langsung peristiwa yang dilakukan oleh nabi disebut perawi pertama, dari perawi pertama ini hadits nabi tersebar melalui perawi kedua, ketiga dan seterusnya. Rangkaian mata rantai perawi, dari perawi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya disebut sanad.
            Penyebaran hadits bisa jadi melalui lebih dari satu rangkian sanad, mungkin ada yang melalui dua rangkaian sanad, tiga rangkaian sanad, bahkan melalui rangkaian sanad yang cukup banyak, sehingga saling menguatkan. Dari sinilah timbul istilah hadits Mutawatir dan hadits Ahad.                                                                                                                                                                                                                                




BAB II
PEMBAHASAN
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadits itu terbagi dua macam, yakni: Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1]
A. Hadits Mutawatir
I. Pengertian Hadits Mutawatir         
Secara bahasa, Mutawattir adalah isim fail musytaq dari masdar At-Tawattur semakna dengan At-Tatabu’u yang berarti berurutan.
Sedangkan Mutawttir menurut istilah adalah “apa yang di riwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad” .Atau “ hadits yang di riwayatkan oleh perawi yang banyak, pada setiap tingkatan sanadnya, menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat di ketahui dengan indra seperti pendengaran dan semacamnya”.[2]
II. Syarat-syarat Hadits Mutawatir    
Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadist mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini:
1.      Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
2.      Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.      Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersokongkol/bersepakat untuk berdusta.
4.      Sandaran hadist mereka dengan menggunakan indra seperti perkataan mereka; kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadist mutawatir.
III. Apakah Untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu?
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa sanya tidak di syaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah SAW.
2.      Di antara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut. Yaitu antara lain :[3]
a.         Abu ‘t-Thayyib menentukan sekurang kurangnya 4 orang, karena di qiyaskan dengan banyaknya saksi yang di perlukan hakim untuk  tidak memberi vonis kepada terdakwa.
b.         Ash-habu’sy-syafi’I menentukan minimal 5 orang, karena meng qiyaskannya dengan jumah para Nabi yang mendapat gelar ulul ‘azmi.
c.         Sebagian ulama’ menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah di firmankan Allah dalam surat Al-Anfal: 65, tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir sejumlah 200 orang.
            ان يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا ماْئتين. ( الانفال : 65 )
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh “. (Al-Anfal: 65)
d.         Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka meng-qiyaskan dengan  firman Allah :
ياايها النبي حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين. ( الانفال : 64  )
“Ya Nabi, cukuplah  Allah dan orang orang mukmin yang  mengikutimu (menjadi penolongmu).”  (Al-Anfal: 64)[4]
Keadaan mukmin pada waktu itu, baru 40 orang. Jumlah sekian itulah merupakan jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan. Jumlah rawi-rawi sebagai mana yang telah mereka tentukan batas minimal dan maksimalnya itu, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karena alasan yang mereka kemukakan untuk mempertahankan pendapatnya adalah lemah serta menyimpang dari inti pokok persoalannya. Sebab persoalan yang prinsip yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah rawi-rawi tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur kepada tercapainya ilmu ‘dl-dlarury. Walaupun jumlah rawi-rawi itu tidak banyak sekalipun, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar-benar meyakinkan. Maka hadits itu sudah dapat dimasukkan Hadits Mutawatir.[5]
IV.  Pembagian Hadits Mutawatir
            Para ahli usul membagi hadits mutawatir kepada dua bagian. Yakni Mutawatir Lafdhi dan Mutawtir Ma’nawi.[6]
   a.  Hadits Mutawatir Lafdhi ialah hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan yang lainnya. Dengan kata lain, Hadis mutawatir lafdhi ialah:
 
هُوَ مَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ.
“Hadits yang mutawatir lafadznya”
Contoh Hadits Mutawatir Lafdhi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فليتبَوَّأ مقعَدَهُ من النارِ. ( البخاري ومسلم )

                                                  
       عبد الله بن زُبَير                        ابو هريرة     أنس بن ماك    علي بن رَبيعة      

عامر بن عبد الله بن الزبير         ابو صالح      عبد العزيز       سعيد بن عُبَيد

جامِج بن شدّاد    عبد الوارث    ابوْ حَصِيْن       اسماعيل     عبد الله بن نُمَير

شعبة             ابو معمر         ابو عَوانة   زهيرُ بن حرب    محمد بن عبد الله

ابو الوليد                         موسى          محمد بن عُبيد



البخاري                                                           مسلم
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama’ mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama.
b.    Hadits Mutwatir Ma’nawi adalah maknanya yang mutawatir sedang lafadznya tidak. Misalnya, hadits tentang mengangkat tangan dalam berdo’a.
مَا رَفَعَ صلّى الله عليه وسلم يدَيهِ حتى رُؤِيَ بَياضُ اِبْطَيْهِ في شيئٍ مِن دُعائهِ في الاستسقاء. ( متفق عليه )

“Konon Nabi Muhammad SAW. Tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam sholat istisqo’. Dan beliau mengangkat tangannya, hinggga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhori Muslim)

Hadits ini telah di riwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan dalam berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberap jalan dan persamaan antara hadist tersebut yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Kendatipun hadits-hadits tersebut berbeda-beda redaksinya, namun karena mempunyai kadar mustara (titik persamaan) yang sama, yakni keadaan beliau mengangkat tangan dikala berdo’a, maka disebut hadist Mutawatir ma’nawi.
V. Faedah Hadist Mutawatir
            “Hadist Mutawatir” itu memberi faedah ilmu-dlarury, yakni keharusan menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadist mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’y (pasti).
Rawi-rawi hadist mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan ke-dlabithan-nya (kuat ingatan), karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin dari persepakatan dusta. Nabi Muhammad SAW, benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagaimana yang diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir. Segenap umat islam telah bersepakat pendapatnya tentang faedah Hadist Mutawatir yang demikian ini. Bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu-dlarury yang berdasarkan khabar Mutawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu dlarury yang berdasarkan musyahadat (penglihatan panca indera).[7]

B. Hadits Ahad
I. Pengertian Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Ulama Muhadditsin mengartikannya dengan :
هو ما لا ينتهِى الى التّواتُرِ. 

                        Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir .”[8]

II. Klasifikasi Hadits Ahad
Jumlah rawi dari masing masing thabaqah (lapisan), mungkin satu orang, dua orang, tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir. Berdasarkan jumlah dari  thabaqah masing masing rawi tersebut, hadits ahad ini dapat di bagi dalam tiga macam, yaitu Hadits Masyhur, Hadits ‘Aziz, dan Hadits Gharib.[9]
            1. Hadits Masyhur
a. Pengertian hadist Masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang telah tersebar atau sudah populer. Adapun menurut istilah yang dimaksud Hadist Masyhur, ialah:

ما رواه الثَلاثةُ فأكثرَ ولم يصِلْ درجةَ التّواتُرِ. 
Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.”
Menurut ulama fiqhi, Hadist Masyhur itu adalah Muradlif dengan Hadist-Mustafidl. Sedang ulama lain membedakannya. Yakni, suatu hadist dikatakan mustafidl bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama samapi dengan thabaqah terakhir. Sedang Hadist Masyhur lebih umum daripada Hadist Mustafidl. Yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap-tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu, dalam Hadist Masyhur, bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama sahabat, thabaqah kedua tabi’in, thabaqah ketiga tabi’it-tabi’in, dan thabaqah ke-empat orang-orang setelah tabi’it-tabi’in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali.
            b. Klasifikasi hadits Masyhur
Istilah masyhur yang di terapkan pada suatu hadist, terkadang tidak untuk memberi sifat-sifat hadist menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang meriwatkan  suatu hadist, tetapi di terapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran suatu dikalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai. Sehingga dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, bahkan ada hadist yang tak berasal (bersanad) sama sekalipun, dapat di katakan dengan hadist masyhur.[10]
Dari segi ini , maka hadist masyhur itu terbagi kepada:
1. Mashur di kalangan para muhadisin dan lainnnya (golongan ulama’ahli ilmu dan orang umum), seperti contohnya :
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : المسلمُ مَنْ سَلِمَ المسلمونَ مِن لسانهِ ويدِهِ.
 ( رواه البخاري ومسلم )
“Seorang Muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.”
2. Masyhur di kalangan ahli ilmu tertentu misalnya hanya masyhur di kalangan ahli hadist saja, atau di fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya. Contohnya :
لا صلاةَ لِجارِ المسجدِ الّا في المسجدِ. ( رواه الدارقطني عن ابي هريرة )
“Tidak sah sholat bagi orang yang berdekatan dengan masjid, selain shalat di dalam masjid.”
3. Masyhur di kalangan orang orang umum saja. Contohnya :
لِلسَّائِلِ حقٌّ واِنْ جاء على فَرَسِ. ( رواه احمد والنسائي عن ابي هريرة ) 
“Bagi  peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda.
c. Kitab-kitab yang berisi tentang kumpulan hadits masyhur  antara lain; Al-maqasid Al-hasanah fi ma Isytahara ‘ala Al-Alsinah, karya As- Sakhawi, Kasyf Al-Khafa’ wa Muzil Al- Ilbaz fi ma isytahara min Al-hadis ‘ala Alsinah an-nas min Al-Hadits, karya Ibnu Daiba’ As-syaibani. [11]
2. Hadis ‘Aziz
a. Pengertian hadits ‘aziz
Aziz menurut bahasa adalah Asy-Syafief ( yang mulia ), An-Nadir ( yang sedikit wujudnya ), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih ( yang sukar diperoleh ), dan Al-Qawiyu ( yaitu kuat ).
Adapun menurut istilah, hadits aziz adalah ,
ما رواه اِثْنانِ ولو كان في طبقةٍ واحدةٍ ثم رواه بعد ذلك جماعةٌ .
Hadist yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.[12]
            b. Contoh-contoh hadits ‘Aziz
1. Contoh hadis ‘aziz pada thabaqah pertama :
نحن الاخرونَ السابقونَ يومَ القيامةِ. ( رواه احمد والنسائي )
“Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari kiamat.”   ( H.R. Ahmad dan An-Nasa’i ).
Hadis tersebut di riwayatkan oleh dua orang sahabat ( thabaqah ) pertama, yakni Hudzaifah ibn Al-yaman dan Abu Hurairah. Hadist teersebut pada thabaqah  kedua sudah menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah, hadits diriwayatkan oleh tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al-‘Araj, Abu Shalih, Humam, dan Abd Ar-Rahman.
2. Contoh hadis ‘aziz pada thabaqah kedua, yaitu,
لا يؤْمنُ احدُكم حتّى اكونَ احبَّ اليهِ من نفسهِ من وولِدهِ ووالدِهِ والنّاسِ اَجمعينَ.      ( متفق عليه )
“Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga Aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya.” (Mutafaq’alaih )
Hadist tersebut diterima oleh Anas bin Malik ( thabaqah pertama ), kemudian diterima oleh Qatadah dan ‘Abd. Al-‘Aziz ( thabaqah kedua ). Dari Qatadah diterima oleh Husain Al-Mu’allim dan Syu’bah, sedangkan dari ‘Abd. Al-‘Aziz  diriwayatkan oleh ‘Abd Al-warits dan Ismail ibn Ulaiyah ( thabaqah ketiga ). Pada thabaqah keempat, hadist itu diterima masing-masing oleh Yahya ibn Ja’far dan Yahya ibn Sa’id dari dari Syu’bah, Zuhair ibn Harb dari Ismail, dan Syaiban ibn Abi Syaibah dari ‘Abd Al-Warits. [13]
Sebagaimana hadits masyhur, hadits ‘aziz pun ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Ke-‘aziz-an suatu hadist tidak identik dengan sahih-tidaknya nilai hadist.
3. Hadis Gharib
a. Pengertian hadist gharib
Gharib menurut bahasa adalah (1) ba’idun ‘anil wathani ( yang jauh dari tanah ), dan (2) kalimat yang sukar dipahami.
Adapun menurut istilah :
هو ما ينفردُ برِوايتِهِ راوٍ واحدٍ.
Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang perawi.
Dalam pangertian lain, hadist gharib adalah ,
مَا انْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ في اَيِّ مَوْضِعِ وَقَعَ التَّفَرُدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ.  
Hadist yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendiriannya itu terjadi.[14]
Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadist itu dapat mengenai orangnya yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Contoh hadist gharib  :
عن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال :           الاِيْمَانُ بِضْعٌ وَسِتّونَ شُعْبةً والحياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الاِيْمانِ. ( رواه البخاري )
Dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW. telah bersabda, “ iman itu bercabang-cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman .“ ( H.R. Bukhari )
b. Klasifikasi hadist gharib
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi, hadits gharib terbagi menjadi dua macam, yaitu; gharib muthlaq dan gharib nisby.
            (1) Gharib Mutlaq
Gharib muthlaq adalah hadits yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadits itu. Penyendirian rawi hadits gharib muthlaq itu berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni tabi’in bukan sahabat.
(2) Gharib Nisby
Gharib Nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:
·         Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.
·         Kota atau tempat tinggal tertentu.
·         Meriwayatkannya dari orang tertentu.
Apabila penyendirian itu di tinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau matan, hadits gharib terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
·         Gharib pada sanad dan matan.
·         Gharib pada sanadnya saja.
·         Gharib pada sebagian matannya. [15]
c. Cara untuk menetapkan ke-gharib-an hadis ( I’tibar )
Untuk menetapkan suatu hadits itu gharib, hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadits, seperti kitab jami’ dan kitab musnad, apakah hadits tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’ atau matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan I’tibar.
Menurut istilah, ilmu hadits mutabi’ adalah:
هُوَ الحَدِيْثُ الّذِي قَدْ تَابَعَ رِوَايَةَ غَيْرِهِ عَنْ شَيْخِهِ أَوْ شَيْخِ شَيْخِهِ.
Hadits yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu).[16]
Mutabi’ ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
(1) Mutabi’ Tam, yaitu apabila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) dari yang terdekat sampi guru yang terjauh.
(2) Mutabi’ Qashir, yaitu apabila periwatannya mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun syahid adalah:
أَنْ يَرْوِيَ حَدِيْثًا اخَرَ بِمَعْنَاهُ.      
“Meriwayatkan sebuah hadits lain sesuai dengan maknanya.”[17]
Hadits syahid ada dua macam, yaitu:
(1) Syahid Bi Al-Lafzhi, yaitu bila matan yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadits fard-nya.
(2) Syahid Bi Al-Ma’na, yaitu bila matan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat lain itu, hanya sesuai dengan maknanya.
III. Kedudukan Hadits Ahad dan Pendapat Ulama Tentang Hadits Ahad
            Para ahli hadits berbeda pendapat tentang kedudukan hadits ahad. Pendapat tersebut antara lain:
1.      Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadits ahad.
2.      Jumhur ulama ushul menetapak bahwa hadits ahad memberi faedah dhan. Oleh karena itu, hadist ahad wajib di amalkan sesudah diakui kesahihannya,
3.      Sebagian ulama menetapkan bahwa hadist ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.      Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan amaliah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aqa’id (akidah)
5.      Imam syafi’I berpendapat bahwa hadist ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari hukum-hukum Al-Quran.
6.      Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu  Ali  Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadist ahad.[18]



BAB III
KESIMPULAN
            Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadits ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadits dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
            Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai pada thabaqat yang terakhir (thabi’it thabi’in) dengan demikian penyebutan hadits dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas perawi dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya, hadits mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1.      Hadits Mutawatir lafdzi yaitu hadits yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan lainnya.
2.      Hadits Mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam susunan redaksinya, tetapi diantar perbedaan itu, masih menyisihkan persamaan dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadits ahad yakni hadits yang dilihat dari segi penutur dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang mendekati jumlah hadits mutawatir. Berbeda dengan hadits mutawatir, hadits ahad mengalami percabangan. Percabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dari masing-masing thabaqat. Dalam hadits ahad dikenal dengan istilah hadits masyhur, hadits ‘aziz, dan hadits gharib.
1.      Hadits Masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, seta belum mencapai derajat mutawatir.
2.      Hadits ‘Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian orang – orang meriwayatkannya.
3.      Hadits Gharib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendiriannya itu terjadi.[19]




DAFTAR PUSTAKA

·         Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
·         An-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus
·         Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif
·         Solahuddin, M. dan Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia
·         Fajry, Nur. 2012. Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. http://nurfajry.wordpress.com/tag/hadits-mutawatir-dan-hadits-ahad/. Pukul 08:03, minggu 29 september 2013
·         Referensi Makalah (online). http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-hadits-ahad-dan-pembagiannya.html?m=1. Pukul 07:12 WIB, sabtu 28 September 2013


[1][1]Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 78
[2] Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 110
[3] Al-Qat hthan, Syaikh Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 111
[4] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 79
[5] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 80
[6] Al-Qat hthan, Syaikh Manna’. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 111
[7] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 81-84
[8] Solahuddin, M. dan Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 133
[9] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 86
[10] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif hlm. 86-88
[11] Solahuddin, M. dan Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 134-136
[12] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 93
[13] Solahuddin, M. dan Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 136-137
[14] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 97
[15] Solahuddin, M. dan Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 138-139
[16] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 107
[17] Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif. hlm. 108
[18] Solahuddin, M. dan Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 140-141
Labels: Kumpulan Makalah

Thanks for reading Hadits Mutawatir dan ahad serta kedudukannya. Please share...!

Back To Top